Tanpa melalui proses pemungutan suara, rakyat Singapura akan segera memiliki presiden baru.
Senin (11/9/2017), Departemen Pemilihan Umum Singapura (The Elections Department/ELD) mengumumkan dari lima kandidat yang mengajukan sertifikasi kelayakan, hanya satu yang berhasil mendapatkannya.
Empat kandidat lain yang tak lolos terdiri dari dua kandidat yang bukan keturunan Melayu, sementara dua lainnya gagal memenuhi kriteria yang disyaratkan untuk calon non-pemerintah.
Dua kandidat terakhir yang disebut adalah dua pengusaha swasta beretnis Melayu, Salleh Marican dan Farid Khan. Keduanya gagal membuktikan bahwa nilai total saham publik yang dimiliki perusahaannya (shareholders equity) adalah kurang dari US $500 juta.
Sementara, Halimah Yacob, perempuan Muslim etnis Melayu yang menjabat sebagai juru bicara Parlemen sejak 2013, disebut paling memenuhi syarat untuk menjadi presiden di negara yang luasnya tak lebih besar dari DKI Jakarta itu.
Pemilihan Presiden Singapura pada tahun ini memang hanya boleh diikuti oleh para kandidat yang berasal dari etnis Melayu.
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, yang dikutip dari Coconuts pada November 2016, memang menyiratkan niatannya untuk memberikan kesempatan pada etnis minoritas di negara ini untuk memiliki peran tertinggi di pemerintahan.
Jika tidak ada lagi calon lain yang mendaftar dan lolos seleksi hingga Rabu (13/9/2017) sore–sebuah hal yang sebenarnya sudah tak mungkin–, maka Halimah akan menjadi perempuan pertama dan perwakilan etnis Melayu ketiga yang menjabat sebagai Presiden Singapura.
Sejak memutuskan memisahkan diri dari Malaysia pada 1965, Singapura pernah dipimpin oleh seorang muslim keturunan Melayu, Yusof Ishak (1965-1970).
Kepemimpinan Yusof terbilang sukses. Yusof disebut berhasil menyatukan rakyat Singapura yang berasal dari beragam etnis, meski yang mendominasi adalah mereka yang merupakan etnis Tionghoa.
Yusof bahkan diberi julukan “Presiden Rakyat”, yang hingga kini penghormatan atas dirinya masih bisa dilihat dalam bentuk cetakan uang kertas dolar Singapura.
Namun, sejak itu Singapura lebih banyak berada di bawah pimpinan presiden dari keturunan Tionghoa.
Meski pernah, presiden keenam Singapura, S. R. Nathan, mantan Duta Besar Singapura untuk Amerika Serikat adalah beretnis India yang kemenangannya mirip dengan Halimah, yakni tanpa perlawanan pada pemilihan umum 1999 dan 2005.
Terakhir, Singapura dipimpin oleh Tony Tan yang menjabat sejak 1 September 2011 hingga 31 Agustus 2017.
Dari sekitar 3,9 juta penduduk Singapura, 74,3 persen di antaranya beretnis Tionghoa, 13,3 persen beretnis Melayu, dan 9,1 persen beretnis India, sementara ada beberapa persen lainnya adalah kelompok etnis lain termasuk keturunan Indo-Eropa.
Kemenangan tak sempurna tapi diharapkan
Halimah Yacob harus membayar mulusnya perjalanan untuk merebut kursi kepresidenan di Singapura dengan kritikan dan keraguan atas kepemimpinannya kelak.
Setelah Departemen Pemilu Singapura mengumumkan perihal kandidat yang memenuhi persyaratan itu, sejumlah masyarakat Singapura terlihat menunjukkan kekecewaannya di media sosial.
Bukan persoalan agama dan gender dari Halimah yang diributkan. Singapura bukanlah negara yang sebenarnya tak terlalu meributkan persoalan SARA.
Sebuah penelitian yang dilakukan Pew Research Center pada 2014 menunjukkan bahwa Singapura adalah negara yang paling memiliki keragaman beragama, jauh di atas Amerika Serikat.
Dilansir Strait Times, orang-orang tersebut umumnya menyesali keputusan bahwa Halimah adalah satu-satunya kandidat yang memenuhi persyaratan, dan oleh karenanya proses pemungutan suara tak lagi diperlukan.
“Aku turut berbahagia untuk Halimah, karena aku yakin dia bisa menjadi presiden yang hebat. Tapi, banyak warga Singapura yang sebenarnya berharap dapat diberikan kesempatan untuk memilih sebagai bagian dari demokrasi,” ucap Zaqy Mohamad, anggota dari Chua Chu Kang Group Representation Constituency.
Analisis Yusof Ishak Institute, Norshahril Saat mengatakan hal senada dengan Zaqy. Namun, Nor menegaskan bahwa para juri yang terlibat sudah pasti memiliki kriteria penilaian yang memang benar-benar baik.
Terlepas dari keraguan sejumlah masyarakat, Halimah bukanlah sosok baru dalam tubuh pemerintahan Singapura. Halimah, seperti yang dilansir South China Morning Post, menghabiskan tiga dekade bekerja bersama dengan Kongres Serikat Pekerja Nasional.
Tahun 2001, Halimah kemudian bergabung sebagai anggota parlemen Partai Aksi Rakyat (PAP), partai paling mendominasi di Singapura. Sebelum mendapat kepercayaan untuk menjadi juru bicara parlemen, Halimah cukup dikenal sebagai seorang aktivis yang kerap memperjuangkan hak-hak wanita di Singapura.
2011, Halimah ditunjuk menjadi Sekretaris Kabinet pada Kementererian Pengembangan Masyarakat, Pemuda, dan Olahraga. Kariernya di pemerintahan terus melaju hingga terpilih menjadi Juru Bicara Parlemen pada 2013.
Di Singapura, Perdana Menteri lebih berkuasa
Mungkin tak banyak yang mengenal seluruh tujuh presiden yang pernah menjabat di Singapura. Bukan tanpa alasan, tiga Perdana Menteri yang pernah dan sedang menjabat di Negeri Singa itu lebih memiliki panggung ketimbang presidennya.
Ketiganya adalah Lee Kuan Yew (1965-1990), Goh Chok Tong (1991-2004), dan Lee Hsien Loong (2004-saat ini).
Ketiga nama-nama tadi, lebih banyak terlibat dalam sejumlah pertemuan diplomatik baik bilateral maupun multilateral, bahkan, nama-nama tadi juga lebih kuasa saat mengambil keputusan penting bagi Singapura.
Praktik ini sebenarnya lazim ditemui di negara-negara persemakmuran Inggris. Layaknya Inggris, presiden di Singapura memiliki posisi sejajar dengan Ratu di Inggris, sebuah posisi yang lekat dengan seremonial (formalitas) semata.
Sementara, Perdana Menteri merupakan kepala pemerintahannya. Perdana Menteri dipilih oleh parlemen yang dibentuk berdasarkan kekuasaan eksekutif oleh kabinet.
Kabinet di Singapura secara kolektif memutuskan kebijakan pemerintah dan memiliki pengaruh atas pembuatan hukum dengan mengajukan rancangan.
Meski begitu, presiden juga memiliki beberapa kewenangan seperti memilih anggota kabinet–atau dalam hal ini dikenal sebagai Menteri–meski dengan saran dari Perdana Menteri.
Selain itu, Presiden Singapura memiliki kekuasaan ditingkat legislatif, atau di Indonesia lebih dikenal sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sama seperti DPR, sebagian besar rancangan undang-undang disahkan oleh parlemen yang diteliti oleh Dewan Kepresidenan untuk Hak Minoritas yang membuat laporan kepada Ketua Parlemen yang menyatakan apakah ada klausul dalam rancangan yang mempengaruhi setiap masyarakat berbagai ras atau agama.
Jika disetujui oleh dewan, rancangan akan disajikan untuk persetujuan presiden. Tahap terakhir ini melibatkan pemberian persetujuan oleh presiden, sebelum rancangan resmi menjadi undang-undang.