Kisah Perjuangan Nek Murip demi Naik Haji, Dari Memulung hingga Jadi Tukang Pijat di Negeri Jiran

497
views

berita-lamongan-mbah-murip-perho-haji_20160728_181732

Bisa pergi Haji, menjalankan rukun Islam kelima adalah harapan semua Muslim.

Setiap muslim tentu berharap bisa berangkat ke tanah suci Makah.

Tak beda dengan seorang nenek miskin asal Desa Bulubrangsi Kecamatan Laren, namanya, Murip (61). Perempuan yang hidup dalam kemiskinan dan buta huruf lantaran tidak pernah mengenyam sekolah ini sudah lama mempunyai keinginan untuk bisa berangkat haji.

Tentu, kalau hanya bekerja di rumah sebagai tukang pijat, buruh tani dan menjadi pemulung dianggapnya tidak pernah bisa memenuhi keinginannya untuk bisa menunaikan rukun Islam yang ke lima, yakni haji.

Murip mempunyai tekat yang cukup kuat, terdorong banyak tetangganya di Bulu Brangsi, Solokuro, maupun masyarakat di Kecamatan tetangga Paciran yang hidupnya berkecukupan setelah pergi ke Malaysia. Meski ia buta huruf, dan hanya bermodalkan kejujuran dan kekuatan otot yang sudah dijalani di negeri sendiri, memberanikan dirinya untuk terang ke negeri Jiran Malaysia.

Berangkatlah Murip sekitar tahun 2005 bersama para lelaki asal desanya ke Malaysia, maklum ia termasuk warga miskin.

Pengurusan paspor diserahkan tetangganya yang sama – sama hendak ke Malaysia.

”Aku kepingin haji, nek mati dosaku cik disepuro karo gusti Allah,”ungkap Murip mengisahkan perjalanan hidupnya saat ditemui Surya, Kamis (28/7/2106) di rumahnya kecilnya yang berdiri di atas tanah GG.

Kebiasaannya mencari nafkah di negeri sendiri Lamonga, yakni sebagai pemulung dan tukang pijat dijadikan alat Murip untuk mecari ringgit di Malaysia.

Di negara tetangga ini, Murip yakin akan mendapatkan uang banyak dengan kejujuran dan ketekukanannya dan tak lepas salat wajib ditambah salat – salat sunah lainnya.

“Aku di Malaysia ya tetap jadi pemulung. Saya tidak bisa kerja apa selain itu. Dan saya juga menjadi tukang pijat kepada siapapun yang memintanya bantuan,”katanya.

Hebatnya, dengan keluguan dan kejujurannya, Murip mengaku diperlakukan baik oleh polisi Malaysia. Praktis selama di Malaysia ia mengaku tidak pernah di tangkap oleh para polisi.

Murip meyakini polisi Malaysia merasa hiba melihatnya, karena hanya sebagai pemulung.

Namun, dibeberkan juga, banyak warga Indonesia yang tak tahu kalau dia asal Bulubrangsi Indonesia.

”Aku kepingin haji, nek mati dosaku cik disepuro karo gusti Allah,”ungkap Murip mengisahkan perjalanan hidupnya saat ditemui Surya, Kamis (28/7/2106) di rumahnya kecilnya yang berdiri di atas tanah GG.

Kebiasaannya mencari nafkah di negeri sendiri Lamonga, yakni sebagai pemulung dan tukang pijat dijadikan alat Murip untuk mecari ringgit di Malaysia.

Di negara tetangga ini, Murip yakin akan mendapatkan uang banyak dengan kejujuran dan ketekukanannya dan tak lepas salat wajib ditambah salat – salat sunah lainnya.

“Aku di Malaysia ya tetap jadi pemulung. Saya tidak bisa kerja apa selain itu. Dan saya juga menjadi tukang pijat kepada siapapun yang memintanya bantuan,”katanya.

Hebatnya, dengan keluguan dan kejujurannya, Murip mengaku diperlakukan baik oleh polisi Malaysia. Praktis selama di Malaysia ia mengaku tidak pernah di tangkap oleh para polisi.

Murip meyakini polisi Malaysia merasa hiba melihatnya, karena hanya sebagai pemulung.

Namun, dibeberkan juga, banyak warga Indonesia yang tak tahu kalau dia asal Bulubrangsi Indonesia.

Semua itu tidak pernah ia hiraukan, siang malam ia memulung botol plastik bekas air mineral serta apapun rongsokan yang bisa dijualnya. Yang terpenting dapat uang halal.

“Katanya pak yai, uang untuk berangkat haji itu harus benar – benar halal. Jadi saya juga tidak mau sampai meminta – minta,”ungkapknya.

Kadang dua hari sekali ia mendapat banyak barang rongsokan, sampai satu kol pikap. Setelah terkumpul, barang itu kemudian diangkut ke pengepul.

”Alhamdulilah, saya tidak perlu menyewa angkutan. Karena ada orang cina di Malaysia yang selalu memberikan pinjaman mobilnya dan sopirnya untuk mengangkut barang saya secara gratis,”katanya.

Ia merasa mendapatkan semua kemudahan karena ia percaya dengan berbuat jujur dan juga ingat kepada Tuhan dan menjalankan semua perintahnya.

Murip mengaku selama di Malaysia tidak pernah meninggalkan salat lima waktu dan salat malam (tahajud, red).

Disetiap salatnya, ia selalu berdoa agar Allah mengabulkan keinginannya untuk bisa berangkat haji.

Ia juga rutin membawa makanan, berupa pisang matang sekitar 1 tundun dan air mineral kemasan gelas satu dus untuk dibawa ke Masjid setiap kali usai setor ke pengepul.

“Itu selalu saya lakukan, dan banyak anak – anak di masjid yang suka makan pisang yang saya bawa. Alhamdulillah setelah itu selalu banyak barang (mulung, red) yang saya dapatkan,”ungkapnya kepada Surya (TRIBUNnews.com Network).

Uang uang diapatkannya ia kumpulkan sedikit demi sedikit. Dan kalau sudah terkumpul dikirim ke Lamongan ke Ghozali, tetangganya yang membantunya untuk mendaftarkan haji.

Apalagi saat itu masih ada dana talangan haji. Murip juga masih bisa mengirim uang untuk anak dan cucunya yang juga sama – sama hidup miskin.

Karena keempat anaknya sejak kecil ia sudah ditinggal mati suaminya. Kebutuhan hidup harus ia tanggung seorang diri.

Murip, melalui Ghozali memanfaatkan program dana talangan haji. Dan ketika terkumpul total Rp 20 juta di tangan Ghozali, langsung didaftarkan.

Begitu uang yang dititipkan Ghozali sudah terkumpul, Murip langsung pulang dari Malaysia dan mendaftar di Bank BNI saat itu masih beralamat di jalan Lamongrejo sebesar Rp 20 juta pada 18 Januari 2010.

Dan mendapat nomor porsi 1300399082.

Persis lima tahun di Malaysia, berarti habis juga masa berlaku paspor Murip. Merasa sudah bisa membayar dana talangan haji Rp 20 juta, Murip pulang ke Lamongan. Tambahannya, akan dicarikan ketika tiba di Indonesia.

”Carinya uang ya tetap dengan mencari barang rongsokan serta jadi tukang pijat,”katanya

Ternyata kejujuran dan tingkat ketaqwaannya, Murip benar – benar dikabulkan permintaannya. Saat ada pemberitahuan pelunasan dana haji 2016, Murip mampu membayar tambahan Rp 15, 5 juta.

Diakui, semua biaya haji itu dari hasil jerih payahnya sendiri dan bukan pemberian atau hasil meminta – minta.

Meski sudah bisa daftar haji, ternyata kala itu Murip masih tidak punya rumah. Berkat keperdulian Mutif, Kepala Desa Bulu Brangsi, Murip mendapat bantuan program bedah rumah dan menempati tanah GG desa. Listrik rumah juga numpang nyalur dari tetangganya.

“Alhamdulillah pak Kadesnya baik, rumah saya ini juga dibantu pak kades lewat program bedah rumah. Tanahnya juga milik negara,”ungkap Murip yang kini ditemani cucunya, Nadia serumah dengannya.

Tentu kabar Murip bisa segera naik haji ini cepat tersebar di semua warga Bulubrangsi.

Bahkan Murip juga berlanjut bisa mengikuti tahapan manasik yang dilaksanakan oleh salah satu KBIH di Lamongan.

Kebahagiaan Murip seolah lengkap, Meski tidak mempunyai harta benda banyak, namun keinginannya untuk melihat bangunan Kakbah segera terkabul.

Menunggu hari – hari keberangkatannya, Murip tetap saja menekuni pekerjaannya sebagai pemulung dan tukang pijat.

Uang dari hasil mengumpulkan botol plastik bekas , kardus, kertas dan potongan besi serta upah memijat dipakainya untuk kebutuhan sehari – hari dan uang saku cucunya yang duduk di bangku kelas V Madrasah itu.

“Saya tidak malu, yang penting tidak mencuri. Saya percaya kok, kalau saya baik dengan orang, rizki pasti akan gampang didapatkan,”ungkapnya.

Murip tidak banyak melakukan persiapan melengkapi suguhan atau barang oleh – oleh haji. Saat ini Murip hanya berdoa tetap diberikan kesehatan sehingga bisa melaksananakan ibadah haji secara sempurna.

Hati Murip sekarang sudah plong, harta memang tak banyak. Keinginannya melihat Kabbah sambil mengucap Labbaik Allah Humma Labbaik, Labbaik Laa Syarika laka Labbaik segera terwujud.

#Artikel ini dikutip dari www.tribunnews.com